RSS
 

Selamat atas Promosi Doktor Dedi Afandi dalam Bidang Ilmu Kedokteran di FKUI

07 Aug

Dedi Afandi (33) memperoleh gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Kedokteran setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Kondisi Keberlakuan Bioetika Dalam Mekanisme Revisi Kode Etik Kedokteran Indonesia: Mempertahankan Keluhuran Profesi di Tengah Masyarakat Plural” pada sidang terbuka Senat Akademik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) di bawah pimpinan Prof. dr. Pratiwi P. Sudharmono, PhD, SpMK., Wakil Dekan FKUI, pada hari Rabu (16/06) bertempat di Ruang Sena Pratista Sutomo Tjokronegoro Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta.
Bertindak sebagai Promotor Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, SpF(K), M.Si, SH., dan Ko-promotor. Dr. dr. R. Irawati Ismail, SpKJ(K), M.Epid., beserta dewan penguji, yaitu Prof. Dr. dr. Sarwono Waspadji, SpPD-KEMD.,  Prof. dr. R. Samsuhidajat, SpB-KBD., Prof. Dr. dr. A. Dinajani. S. H. Mahdi, SpPD-KAI, SH., Dr. Akhyar Yusuf Lubis dan Dr. Haryatmoko.

Dr. Dedi Afandi menyelesaikan pendidikan kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas – Padang, dan beliau menyelesaikan pendidikan Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal serta Pendidikan Doktor dalam Ilmu Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta. Beliau juga sempat menimba ilmu di Belanda tepatnya dalam program Diploma Forensic Medicine pada Groningen State University, Netherland. Saat ini, Dr. Dedi Afandi menjabat sebagai Kepala Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
Melalui disertasinya, Dr. Dedi Afandi menjelaskan bahwa Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) merupakan acuan moralitas dokter Indonesia dalam menjalankan praktek kedokteran sehari-hari. KODEKI yang sangat bernuansa Hippocratesian dan Deontologis, banyak menuai kritik, di kalangan profesi itu sendiri. Kode etik yang berdasarkan teologi belum berkembang dengan baik. Teologi menghendaki agar pemilihan keputusan didasarkan pada perkiraan hasil akhir yang sesuai dengan situasi yang dihadapi, sehingga tercapai nilai maksimum dari rasio keuntungan terhadap kerugian. Selain itu Dr. Dedi mengatakan bahwa perubahan sosiokultural masyarakat, kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran, perubahan hubungan dokter pasien, yang berdampak pada kompleksitas masalah moral, kompleksitas masalah kesehatan dan kompleksitas pelayanan kesehatan, menghendaki suatu mekanisme untuk terus menerus mengevaluasi dan merevisi KODEKI sebagai bentuk akuntabilitas profesi tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur profesi kedokteran.

Penelitian yang dilakukan Dr. Dedi ini bertujuan untuk mendapatkan tingkat refleksi dokter terhadap nilai-nilai yang ada pada KODEKI dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan mendapatkan nilai-nilai luhur dalam profesi kedokteran, serta mendapatkan landasan metodologis mekanisme revisi KODEKI yang dapat mempertahankan keluhuran profesi di tengah masyarakat yang plural.
Dr. Dedi melakukan penelitian yang mencakup penelitian kuantitatif, kualitatif dan kajian filosofis. Dari penelitian kuantitatif akan di dapatkan tingkat refleksi dokter tentang KODEKI. Tingkat refleksi terdiri dari 6 nilai yang terkandung dalam KODEKI yaitu altruisme, responsibilitas, akuntabilitas terhadap pasien, idealisme profesi, integritas ilmiah dan integritas sosial serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat refleksi KODEKI. Dalam penelitiannya, Dr. Dedi menggunakan 400 subjek penelitian yang memenuhi kriteria penerimaan diminta untuk mengisi alat ukur Kuesioner Refleksi KODEKI (KRK) dan lembar data pribadi. Pengumpulan data studi kualitatif sendiri dilakukan dengan metode wawancara mendalam terhadap informan yang terdiri dari anggota Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) aktif yang berdasarkan kriteria sangat senior, senior dan yunior yang di kategorikan berdasarkan lamanya pengalaman di MKEK dan kedudukan informan dalam MKEK.
Validasi data yang didapat melalui wawancara tersebut dilakukan dengan cara membandingkan interpretasi hasil transkrip antar peneliti dengan salah seorang anggota MKEK lainnya.

Sedangkan pada kajian filosofis, Dr. Dedi menggunakan berbagai literatur yang berhubungan dengan fokus penelitian yaitu nilai-nilai keluhuran profesi dan prinsip bioetik. Model penelitian yang di pakai adalah sistematis-reflektif.
Hasil Penelitian
Dari penelitian kuantitatif didapatkan prevalensi tingkat refleksi KODEKI sebagian besar subjek penelitian berada pada tingkat sedang 338 (84,5%). Sedangkan tingkat refleksi pada 6 nilai-nilai yang terkandung dalam KODEKI rata-rata berada pada tingkat sedang kecuali idealisme profesi yang sebagian besar berada pada tingkat kurang 311 (77,5%). Terdapat hubungan yang bermakna antara lama menjadi dokter dan tempat praktek utama terhadap tingkat refleksi KODEKI berdasarkan uji statistik. Namun tidak didapatkan hubungan yang bermakna terhadap tingkat refleksi KODEKI dari faktor lama konsultasi , tingkat kompetensi dokter, dan pernah atau tidak mendapat pelatihan/ pengetahuan tentang etika kedokteran. Telah terjadi pergeseran nilai-nilai dalam KODEKI antara lain nilai altruisme dan nilai integritas sosial menunjukkan etika teleologi dengan kecenderungan ke arah ketidaksesuaian dengan etika normatif, nilai responsibilitas menunjukkan relatif ke arah etika teleologi, nilai idealisme profesi menunjukkan ketidasesuaian dengan etika normatif, nilai akuntabilitas terhadap pasien dan nilai integritas ilmiah menunjukkan etika teleologi dengan kecenderungan ke arah deontologi. Pada penelitian kualitatif didapatkan bahwa nilai-nilai utama yang menjadikan profesi kedokteran merupakan profesi luhur adalah altruisme (tanpa pamrih) dan idealisme profesi.
Sedangkan pada kajian filosofis mendapatkan hasil berupa penggunaan kombinasi etika deontologi dan teleologi merupakan konsep dialogis keseluruhan profesi kedokteran dalam masyarakat plural. Dan prinsip bioetika dalam mekanisme revisi KODEKI adalah nilai luhur profesi merupakan nilai yang bersifat imperatif katagoris dan nilai profesi umum cenderung lebih bersifat teleologis. Serta landasan metodologis dalam mekanisme revisi KODEKI adalah dengan menggunakan lingkaran hermeneutik mekanisme revisi KODEKI.

Dr. Dedi menyimpulkan bahwa refleksi dokter terhadap KODEKI di wilayah IDI DKI Jakarta sebagian besar berada pada tingkat sedang. Salah satu hal yang menjadi faktor pengaruh refleksi dokter terhadap KODEKI adalah lama waktu menjadi dokter dan tempat praktik utama. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mekanisme revisi KODEKI adalah mengumpulkan informasi refleksi dokter terhadap KODEKI, melakukan analisis sosial nilai-nilai luhur profesi, melakukan refleksi etis menggunakan kaidah dasar bioetika secara prima facie, dan melakukan refleksi meta etis dengan teori perkembangan moral Kohlberg dan teori teleologi. (adi)

http://www.fk.ui.ac.id/news.php?id=325

 
Comments Off on Selamat atas Promosi Doktor Dedi Afandi dalam Bidang Ilmu Kedokteran di FKUI

Posted in Activities

 

Dedi Jadi Doktor Bioetika Pertama Indonesia

07 Aug

PEKANBARU, TRIBUN – Dedi Afandi, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Riau, menjadi orang pertama di Indonesia yang mendapatkan gelar di bidang bioetika. Belum lama ini, ia menyelesaikan studi S3 bidang bioetika itu di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saat berbincang dengan Tribun, Jumat (30/7) pagi, Dedi mengatakan, bidang ilmu bioetika termasuk bidang ilmu yang baru.

Menurutnya, bioetika merupakan perpaduan antara ilmu kedokteran dan ilmu filsafat. Dikatakan, saat ini hanya program doktoral bioetika itu hanya ada di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. “Mahasiswa gelombang pertama di program doktoral itu ada lima orang. Salah satunya saya. Sedang yang satu orang lagi mundur, serta yang dua orang lagi masih belum selesai studi,” kata Dedi.

Dikatakan Dedi, bioetika berangkat dari pandangan miring masyarakat terhadap profesi dokter. Hal itu menurutnya pentingnya ada kajian terhadap etika dokter. Dalam studi yang dilaluinya, ia mengatakan, memandang perlunya merubah beberapa poin di dalam kode etik kedokteran. Hal itu disebabkan karena ia memandang beberapa isi kode etik itu sudah tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat.

Pakar forensik RUSD Arifin Ahmad ini mencontohkan kasus informasi mengenai penyakit yang diderita mantan presiden Soeharto dulu. Menurutnya, sebenarnya penyakit yang diderita seseorang adalah rahasia medis, yang bagi dokter harus dijaganya sampai mati. Namun pada kenyataannya, lanjut Dedi, pada waktu itu penyakit Soeharto diungkapkan ke publik. Menurutnya hal itu karena memang publik menginginkan itu.

Jadi menurutnya, ada beberapa pengecualian yang harus dibuat rumusannya dalam menyikapi kode etik kedokteran itu. Dengan pembahasan mengenai kode etik itu, pengurus Ikatan Dokter Wilayah Riau dan Daerah Pekanbaru ini menamatkan pendidikan di bidang bioetika. Pada penelitiannya, ia menggunakan metode kualitatif, kuantitaif, serta kajian filosofis. (hnk)

http://www.tribunpekanbaru.com/read/artikel/22657

 
Comments Off on Dedi Jadi Doktor Bioetika Pertama Indonesia

Posted in Activities